Pagi
ini aku berangkat dengan perasaan senang dan penuh semangat, tentu saja, karena
mulai pagi ini hingga seminggu kedepan akan sedikit ringan pekerjaanku, yakni
duduk dibelakang meja pengawas ujian, berhemat tenaga untuk teriak-teriak
mengajar menghadapi anak didikku. Namun mungkin berbeda dengan sebagian anak
didikku yang merasa ogah untuk masuk
sekolah, mereka takut dengan beban pikirannya yang begitu besar.
Ketakutan yang
muncul akibat sistem belajarnya yang tak teratur selama ini. Yaaa, mereka
terbiasa dengan sistem SKS, alias Sistem Kebut Semalam, yaitu belajar semalam
suntuk untuk menghadapi ulangan tengah semester, yang dimulai hari ini, senin
tanggal 7 Oktober 2013.
Benar
juga perkiraanku, di jam pertama mengawasi ini, aku melihat banyak sekali
murid-muridku yang belum siap menghadapi ujian. Ujian yang sejatinya telah
rutin mereka laksanakan setiap menjelang tengah semester dan akhir semester.
Harusnya mereka bisa santai-santai saja, toh
juga para bapak-ibu guru yang membuat soal berdasarkan dengan materi yang telah
dilatih setiap harinya. Namun namanya juga anak-anak, bagi sebagian mereka,
sekolah itu ibaratnya tempat untuk sembunyi dari kesibukan dirumah. Kalopun
mereka dirumah, pasti tak banyak yang dilakukan selain menuruti perintah orang
tua, disuruh inilah itulah...banyak hal pokoknya. Tapi kalau disekolah, mereka
bisa sedikit bebas, ketemu banyak kawan, bersenda gurau, dan pastinya dengan
modal uang saku yang lumayan besar serta sepeda motor yang memang difasilitasi
orang tua, mereka bisa melakukan banyak hal. Mejeng sana-mejeng sini, gak
peduli dengan aturan lalu lintas dan sekolah yang memang tidak membolehkan
mereka memakai sepeda motor. Jangankan aturan, lha wong Surat Ijin Mengemudi
(SIM) gak punya serta sepeda motor yang mereka
bawa saja banyak yang bodong alias
tak mempunyai surat-surat...prihatin aku melihatnya, kadang terbersit
difikiranku, apa orang tua mereka gak sadar, kalo yang mereka berikan untuk
anaknya itu sama juga dengan menyuntikkan virus kenakalan untuk anak-anak
mereka sendiri.
Kembali
kebalik meja pengawas, diruangan yang kebetulan nyaman ini, dengan deretan meja
kursi yang terbilang baru, ditambah jendela yang banyak dan pencahayaan yang
pas, bagiku ini tempat yang cocok bagi anak untuk mengerjakan ujian, jauh lebih
nyaman ketimbang apa yang kualami ketika masih sekolah dulu. Pasti mereka akan
mudah menyelesaikannya nanti, batinku. Namun fakta yang terjadi ternyata
berbeda, tetap saja kulihat ada anak yang berusaha mencotek, bertanya
sana-bertanya sini, dan ketika kepergok olehku, mereka berdalih ingin pinjam type ex atau alat tulis lainnya...hemm,
itulah anak-anak, banyak banget akalnya. Coba jika kelak akal kreatif mereka
dalam berfikir itu, bisa diaplikasikan ke banyak hal posistif lainnya, pasti
negara ini akan menjadi negara besar, jauh meninggalkan Jepang, Negara kecil
namun mampu menguasai teknologi dunia.
Setelah
kejadian kepergoknya salah satu muridku yang mencontek tadi. Kulanjutkan dengan
aktingku dalam memarahi mereka serta sedikit berkhotbah bla bla bla... semua
itu agar mereka tak lagi mengulanginya. Suasana ruang kelas kembali menjadi
hening. Tak terdengar suara manusia berkasak khusuk. Yang tampak hanyalah
puluhan kepala menunduk dimejanya masing-masing. Terbersit dipikaranku, apa
mereka memang sedang konsentrasi mengerjakan soal, ataukah malah menjadi ngantuk
karena bingung harus dijawab apa soal-soal ini.
Hemm,
sebagai seorang manusia biasa yang dibekali dengan hati dan perasaan sayang
terhadap anak didiknya, aku terkadang juga merasa kasihan. Karena bagi mereka,
meskipun aku dianggap sebagai guru yang baik dan menyenangkan dalam mengajar,
namun aku tergolong guru yang ditakuti apabila mengawasi. Itu karena aku termasuk
peka dan paling tidak suka melihat muridku menjadi tidak jujur. Satu gerakan
saja yang menimbulkan kecurigaan, akan segera kuketahui. Bahkan dengan berbagai
macam cara dan strategi mencontek, telah hapal diotakku. Teringat ketika masih
sekolah dulu, mulai dari cara mencontek dengan membuat catatan kecil dan
diselipkan di sela-sela lubang bolpoin, atau dimasukkan dalam saku, bahkan ada
yang membuat catatan di paha atau lengan tangannya. Semua cara telah kuketahui,
termasuk dengan membuat kode-kode contekkan apabila soalnya pilihan ganda, semisal
kode A dengan mengacungkan jari telunjuk, kode B dengan jari manis, dll.
Bagiku
apalah gunanya mendapat nilai bagus, kalau cara yang mereka lakukan dengan
mencontek. Aku sering menekankan ke murid-muridku, bahwa mencontek itu sama
halnya dengan korupsi. Sama juga dengan meracuni diri sendiri. Namun namanya
juga anak-anak, mungkin sebagian dari mereka masih menganggap, kalau nilai yang
bagus itu lebih membanggakan daripada harus mempertahankan idealisme kejujuran,
atau bahkan mereka belum tahu makna dari idealisme kejujuran di umur mereka
yang masih tergolong muda, 13 tahun separuh dari umurku sendiri. Toh juga,
diusiaku yang sama dengan mereka dulu, aku juga belum memahami hal itu. Yang
kuingat hanyalah bermain, berkumpul dengan teman, serta mulai mengenal tentang
asmara. Betul, asmara adalah hal yang paling banyak menyita pikiranku atau
mungkin bahkan pikiran kebanyakan anak-anak didikku sekarang.
Bagi
kita orang dewasa, apa yang dialami anak-anak seumuran mereka itu adalah hal
yang konyol, lebay, atau bahkan hal
tak berguna. Namun berbeda dengan mereka, mereka sudah mulai terjangkit dengan
virus merah jambu itu. Tanpa mereka sadari, diusia pubertas mereka, mereka
telah mulai mengenal perasaan suka dengan lawan jenis. Ada yang bermula dari
rasa kagum, melihat kakak kelasnya terlihat keren dan menjadi orang penting yang sering mondar-mandir
didepan kelas untuk memberikan pengumuman terkait program OSIS dan ekstra
lainnya, atau dari teman perempuan yang telah mulai tumbuh dan nampak cantik
wajahnya. Banyak hal yang akhirnya membuat mereka saling terbuai serta galau, memikirkan satu sama lainnya.
Pernah
sesekali aku dicurhati murid perempuanku, katanya dia baru saja di tembak kakak kelasnya yang seorang
aktifis disekolah. Semula mereka berkenalan pada saat Masa Orientasi Sekolah
(MOS) dan berlanjut dengan kedekatan mereka di kegiatan eksul. Katanya penembakan itu lewat SMS, dan setelah kuselidiki,
ternyata intensitas dia dan teman-teman sebayanya dalam menggunakan teknologi
modern itu sudah jauh dari kata wajar. Bagaimana tidak, handphone telah menjadi
bahan wajib bagi mereka. Seolah-olah mereka akan mati jika tidak berada didekat
handphone. Hampir tiap saat alat itu terus digenggamnya. Dan tidak cuma itu, HP
yang mereka miliki secara pribadi itu adalah Hp dengan keluaran terbaru dan
termasuk kedalam golongan gadget
canggih dengan fasilitas yang beragam, mulai dari internet termasuk ddalamnya facebook dan twitter, game, music, video
dan masih banyak lagi. Berlanjut dari curhatan muridku itu, ternyata fasilitas
yang memang diberikan oleh orang tuanya itu telah menggeser jam belajar mereka
sendiri. Dengan dalih agar gampang berkomunikasi, orang tua mereka telah lalai
memantau anak-anaknya dalam belajar. Padahal, berdasarkan aturan sekolah,
anak-anak memang dilarang membawa HP karena berbagai pertimbangan, salah
satunya adalah akan mengganggu proses belajar mengajar. Dan dikahawatirkan,
dengan membawa HP anak akan mudah mengakses situs-situs diinternet yang berbau
pornografi lewat Hp mereka. Ironi memang, terkadang kumenyadari bahwa aturan
yang diterapkan disekolah, telah berbanding terbalik dengan perhatian
orang-orang dirumah. Akhirnya yang menjadi korbannya adalah anak itu sendiri.
Anak-anak
tentu belum menyadari sampai sejauh itu. Bagi mereka, selama mereka tidak
berbuat kriminal, tindakan apapun yang mereka lakukan itu tidak akan berdampak
banyak terhadap diri mereka dan masyarakat, termasuk dengan membawa motor atau
menghabiskan waktunya dengan SMSan atau Facebookan bahkan membuka situs-situs
diinternet yang berbau porno. Padahal disadari atau tidak, predikat wajar atau
sudah lumrah dari orang-orang dewasa terkait hal-hal tadi, akan menyebabkan
kebobrokan moral dan kemunduran tingkat intelegensia anak Indonesia. Pastinya
hal itu akan berimbas dikemudian hari ketika mereka dewasa nanti. Karena itu,
sudah sepatutnya menjadi tugas kita bersama, agama, sekolah, orang tua, serta
masyarakat untuk memantau perkembangan belajar dan pertumbuhan anak-anak kita,
agar kelak menjadi pewaris bangsa Indonesia yang baik dan handal dengan tetap
berpedoman menjaga nilai-nilai adat ketimuran.
Belum ada tanggapan untuk "Cerita Dari Balik Meja Pengawas "
Posting Komentar